Nurdin; Akhir Perjalanan Gerilya

Usaha dan kerja keras Nurdin akhirnya membuahkan hasil, Dia bisa menggapai pinggir parit tempat 5 orang TNI tadi bersembunyi. Suara derap sepatu serdadu dan Tank Belanda semakin mendekat. Nurdina n memberanikan diri untuk melihat sekelilingnya apakah situasi itu memungkinkan untuk melarikan diri, darah dan tubuh bergelimpangan di mana-mana. 

Beberapa orang masih terlihat bergerak sambil menahan sakit akibat luka-luka yang dialaminya. Nurdin akhirnya memutuskan untuk bersembunyi di parit tempat granat tadi meledak. Nurdin akhirnya berhasil menggapai tepi parit tersebut, sambil merangkak Nurdin menjatuhkan diri ke dalam parit agar tidak terkena peluru yang membabi buta. Nurdin terlentang sambil merasakan sakitnya kaki kirinya yang terkena peluru, tidak terasa darah dari mayat merembas membasahi pakaiannya.

Ilustrasi Serangan Umum 1 Maret 1949, sumber: www.merdeka.com

Pasukan Belanda semakin lama semakin mendekat, posisi Nurdin semakin terpojok. Harapan untuk selamat dan melarikan diri sangat tipis dilakukan, namun Nurdin tetap tenang berusaha untuk selamat dari sergapan Tentara Belanda. Tidak banyak yang dapat dilakukan Nurdin, sambil terlentang Dia menatap langit yang gelap oleh asap perang. 

Darah yang membasahi tubuhnya semakin banyak, bahkan baju dan celananya sudah terlihat merah dan bau amis. Nurdin dalam keadaan terpepet akhirnya menemukan cara menyelamatkan diri, Nurdin dengan segera menggeser tubuhnya mendekati dua mayat yang ada di sebelahnya. 

Kondisi mayat TNI yang berada disebelahnya sungguh sangat memprihatinkan, satu orang seluruh tubuhnya penuh dengan darah akibat letusan granat dan satu orang lagi kedua kakinya terputus.

Nurdin dengan tenaga yang masih tersisa mencoba menyamarkan diri di tengah-tengah mayat untuk berkamuflase agar tidak diketahui oleh Tentara Belanda. Nurdin menggeser salah satu mayat yang terputus kakinya untuk bisa menutup dirinya, walau berat tetapi dia terus berusaha menariknya. 

Deru Tank dan derap kaki Sedadu Belanda semakin mendekat, Nurdin pun dengan segenap kekuatan yang tersisa menarik tubuh mayat tadi untuk menutupi tubuhnya. Akhirnya Nurdin berhasil menyamarkan diri dibalik dua mayat tadi, walaupun sangat berat dan bau amis yang menyengat.

Serdadu Belanda berpatroli ke stiap sudut medan pertempuran untuk memastikan TNI dan Gerilyawan sudah mati semua. Tembakan demi tembakan Sedadu Belanda terdengar untuk menghabisi sisa-sisa para pejuang yang masih hidup. 

Akhirnya Sedadu Belanda mengarah ke tempat persembunyian Nurdin. Parit tempatnya bersembunyi disisir dengan seksama, bahkan mayat yang telah meninggal pun kembali ditembaki untuk memastikan tidak ada TNI dan Gerilyawan yang selamat. Akhirnya Sedadu Belanda sampai di tempat Nurdin, tanpa basa-basi mereka memberondong mayat yang ada di samping dan atas badannya.

Nurdin berusaha tenang dan menahan napas agar tidak diketahui oleh Serdadu Belanda, letupan senjata terdengar beberapa kali mengenai mayat yang ada di atas dan di sampingnya. Peluru-peluru tersebut deras menghujam kedua mayat tersebut, Nurdin di bawahpun tidak luput dari terjangan peluru tersebut. 

Satu peluru bersarang di pundak sebelah kanan Nurdin, saat peluru panas mengenai tubuhnya Nurdin dengan segenap kemampuannya untuk tidak bergerak dan mengeluarkan suara walaupun rasa sakit dan panas sangat menyiksa dirinya.

Darah mengalir dari bahunya, tubuh Nurdin semakin lama semakin lemas akibat luka pada kaki dan bahunya. Sekitar satu jam berlalu Serdadu Belanda akhirnya meninggalkan tempat tersebut karena dianggap telah aman. Nurdin dalam keadaan lemas, berusaha mencari pertolongan. 

Mayat yang berada di atas dan sampingnya segera Dia geser, darah semakin banyak keluar dari tubuhnya. Nurdin mencoba untuk berteriak meminta tolong, namun saat suaranya dikeluarkan rasa sakit yang tiada tara terasa dibahunya alhasil suara yang keluar dari mulutnya hanya sebatas bunyi rintihan.

Lama-kelamaan Nurdin semakin menggigil, mata berkunang-kunang dan akhirnya tubuh Nurdin pun ambruk. Nurdin pingsan akibat luka dan kelelahan. Malampun telah berlalu, pagi-pagi buta masyarakat lokal berbondong-bondong mengamankan jasad TNI dan Gerilyawan yang gugur dalam perang, tidak terkecuali Nurdin yang dalam keadaan pingsan. 

Nurdin segera dibawa ke pos medis terdekat untuk ndapatkan perawatan luka di kaki dan bahunya. Poses penyembuhan Nurdin berjalan selama 3 bulan, akibat terlalu lama dibiarkan terluka kaki sebelah kirimya tidak dapat diselamatkan dan harus diamputasi. Nurdin harus rela menerima kenyataan kehilangan kakinya.

Sedih tentunya ada di dalam benak Nurdin, tapi hal lain yang membuatnya tegar adalah dia merupakan orang yang ada di medan pertempuran namun dalam keadaan selamat sedangkan teman-teman seperjuangannya telah meninggal. Setelah menjalani pengobatan harapan besar Nurdin dia ingin kembali ke kampung dan mendapatkan pelukan istrinya yang akan segera melahirkan. 

Tidak terasa 7 bulan masa penyembuhan Nurdin berlalu, Dia sudah bisa berjalan menggunakan alat bantu (tongkat penopang). Pihak rumah sakit dan TNI yang menjamin pengobatan Nurdin sudah memberikan izin kepadanya pulang ke kampung halaman. Istri yang setia menunggu walaupun dalam keadaan hamil besar terus memberikan dukungan kepadanya.

Tepat bulan September 1949 Nurdin kembali menginjakan kakinya di kampung halaman. Nurdin masih terus menjalani terapi pada kaki dan bahunya agar kembali bisa beraktivitas. Satu bulan berlalu akhirnya hari yang ditunggu-tunggu oleh keluarga kecilnyapun tiba, tepat Hari Senin pagi Nurdin dikaruniai seorang putra yang memiliki berat badan 4,6 kg. Bayi tersebut diberi Nama Bonanza Miftahul Huda, yaitu satu berkah yang melengkapi hidupnya. 

Nurdin kini menjalani hari-hari bahagia bersama keluarga, sekalipun negara Indonesia masih dihantui oleh beberapa agresi militer namun pihak TNI telah mempensiunkan dirinya karena keterbatasan fisiknya. Nurdin kembali menekuni rutinitas sebelumnya menjadi seorang petani, Dia tidak mengolah langsung tanah karena keterbatasan fisik namun berkat kecakapannya dia mampu mempekerjakan tetangganya untuk membantu pekerjaan tersebut. 

Tidak ada kata putus asa dan prustasi bagi Nurdin karena keterbatasan fisik, siapapun yang bertanya tentang fisiknya bahkan anaknya sendiri yang bertanya mengapa kakinya hilang? Nurdin dengan semangat selalu menjawab "inilah satu-satunya bukti pengorbanan saya untuk Bumi Pertiwi". 

Nurdin selalu memberikan motivasi kepada siapapun yang bertanya kepadanya mengenai jerih payah perjuangan untuk memperjuangkan dan mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Kalimat yang selalu ia tegaskan kepada siapapun yang bertanya kepadanya, "jalani hidup dengan ikhlas, yakini segala sesuatu itu sudah ada yang mengatur kita hanya bertugas untuk memperjuangkannya". 

Pertanyaan mengenai tujuan hidup Nurdin, dengan simpel menjawab satu kata yaitu "keluarga", mengapa keluarga? Nurdin menjawab keluarga adalah simbol peradaban. Ketika keluarga itu eksis, sejahtera, sakinah, mawaddah, warohmah, maka dipastikan negara tersebut aman dan nyaman.

Posting Komentar untuk "Nurdin; Akhir Perjalanan Gerilya"