Kakek Penjual Pisang, Berkah Dari Sebuah Kejujuran
Seorang kakek berjalan tertatih-tatih memikul dagangan menyusuri pinggiran jalan Kota Jakarta. Usianya sekitar 65 tahun sekilas sudah tidak sanggup lagi untuk mengankut beban yang berat. Badannya yang sedikit bungkuk terbebani oleh beratnya pisang yang dibawanya.
Kulitnya hitam legam akibat terbakat sinar matahari yang menyengat setiap hari. Hanya peci lusuhnya yang sedikit menutupi bagian atas kepala. Berjalan gontai menembus debu jalanan, mengais rezeki dari mereka yang membutuhkan pisang dagangannya.
Pisang bukanlah makanan pokok, berjualan pisang tidak selancar jualan nasi bungkus atau air mineral. Bagi orang yang memiliki rizki lebih dan pendapatan mapan sulit dibayangkan penjualan pisang tersebut dapat menghidupi keluarga Si Kakek.
Pertanyaan besar juga sering ditemukan dari orang-orang yang melihat Kakek berjualan pisang adalah kenapa masih jualan pisang pada usianya saat ini? —— Melihat kondisi fisik seharusnya Kakek ini beristirahat dan menikmati sisa hidupnya.
Setiap orang memang memiliki garis tangan berbeda-beda, ada yang memiliki uang melimpah. Apapun yang dipegangnya ujung-ujungnya menghasilkan uang. Ada yang kaya raya dari hasil korupsi, menipu dan sumber-sumber yang tidak baik. Ada orang yang bisa-biasa saja namun hidup tenang dan tidak banyak utang kepada siapapun.
Ada juga orang yang serba kekurangnan untuk makan saja harus berjuang mati-matian mengerahkan segala kemampuannya. Itu lah hidup satu sama lain berbeda semata-mata untuk saling mengisi, mengambil hikmah, bersyukur, dan saling tolong-menolong.
Kakek Penjual Pisang, sumber: www.tribunnews.com
Kakek merupakan bagian dari mereka yang harus berjuang keras untuk menyambung hidupnya berjualan sampai usia senja. Kakek tidak mau menggantungkan hidup kepada orang lain seperti meminta-minta.
Kakek berjuang terus selama tenaga yang dimilikinya masih bisa ia gunakan. Tidak ada rasa lelah terpancar dari wajah Kakek, semangatnya berkobar meskipun terik matahari membakar tubuhnya. Hal ini terlihat dari cara dia berjualan dengan sepenuh hati dan tidak ada keluhan kesah yang keluar dari mulutnya.
Kakek merupakan seorang petani asli, kemampuannya yaitu mengolah tanah warisan dari luluhurnya di kampung. Kakek tidak memiliki ijazah dan keahlian khusus, maklum kakek ini lahir pada zaman Penjajahan. Saat ini kakek tinggal berdua dengan nenek, tinggal di rumah sederhana sambil menjaga kebun pisangnya.
Kakek memiliki sepasang anak yang sudah nikah, posisi anak-anaknya berada di luar kota. Anak perempuan Kakek merantau ke Sumatra mengikuti suaminya asli orang Aceh. Anak laki-lakinya berjualan kelontongan di Jawa mengikuti istri yang dipinangnya.
Kakek dari kecil terbiasa dengan kegiatan kasar seperti bertani dan berjualan hasil kebunnya. Kakek tidak betah berlama-lama berada di dalam rumah, badannya pegal-pegal kalau tidak digerakan. Hal yang samapun dirasakan oleh Nenek yang setiap hari berangkat ke kebun untuk melihat tanaman yang mereka tanam.
Pada saat panen pisang Kakek terbiasa mengambil piasang dan langsung memasarkannya ke pasar tradisional atau langsung kepada pembeli di Jakarta. Kakek tidak menggantungkan diri kepada anak-anaknya yang telah menikah, Kakek tahu betul bahwa tanggungjawab anak-anaknya harus fokus kepada keluarganya sendiri. Jualan pisang merupakan salah satu cara untuk menyambung hidup tanpa membebani orang lain (termasuk anak-anaknya) sambil menunggu Tuhan memanggilnya untuk kembali.
Pisang dagangannya tidak setiap hari laku terjual, sisa penjualan Ia bawa pulang dan sebisa mungkin bisa dijual kembali hari esoknya. Apabila sisanya masih banyak Kakek membagikannya kepada tetangganya yang membutuhkan. Kondisi ekonomi mempengaruhi orang belanja termasuk sama Kakek, sudah berjam-jam keliling Ibu Kota dan perumahan di sana tidak ada satu pembeli pun.
Kakek mencoba menyelesaikan hari itu sampai larut malam apakah masih ada peluang bertemu dengan pembeli. Namun sampai mendekati Isa jualannya tidak ada yang laku sama sekali, akhirnya Kakek memutuskan untuk pulang dengan membawa seluruh dagangannya.
Kakek melangkahkan kakinya meninggalkan hiruk-pikuk Ibu Kota, karena pisang dagangannya utuh dari pagi sampai sore beban tubuhnya terasa semakin berat. Kakek akhirnya berhenti di sebuah Halte Bis, sambil meluruskan kaki yang terasa pegal karena berkeliling ratusan kilo meter menawarkan barang danganannya.
Haus dan lapar memang terasa, walaupun di sampingnya ada yang berjualan nasi Kakek tidak berani untuk membelinya karena hari ini tidak ada pisang yang laku terjual. Kakek hanya meminum air yang dibawa dari rumah, memang kondisi ini tidak kali ini saja melainkan sudah sering Kakek lakukan sejak pertama kali dia berjualan.
Tempat nasi yang ada disampingnya sangat ramai dikunjungi oleh pelanggannya. Terdengar suara orang memesan makanan dan samar-samar orang tertawa sambil menunggu makanannya siap disajikan. Kakek hanya terdiam sambil mengkipas-kipaskan peci penutup kepalake arah dada yang basah oleh keringat. Sayup-sayup terdengar suara anak kecil yang merengek-rengek meminta orang tuannya buah pisang yang ia lihat dari Kakek. Orang tuanya mencoba menenangkan dengan mengalihkan perhatian anak tersebut. Namanya anak itu lugu, jujur, dan sedikit memaksa —— tidak dapat dialihkan bahkan rengekannya semakin kencang.
Akhirnya seorang ibu beserta anak kecil mendekati Kakek. Ibu tersebut berpenampilan hebat bertanya kepada Kakek, berapa harga pisang yang dijajakan tersebut, seperti biasa kakek berbicara jujur dengan harga yang ia tetapkan.
Perbincanganpun cukup lama, karena ibu yang perlente tersebut menawar dengan harga yang sangat tidak masuk akal. Kakek pun dengan berat hati dan rasa iba kepada anak kecil yang terus merengek akhirnya memberikan harga lebih rendah dari modalnya karena terpepet pulang harus membawa uang. Sang Anak pun begitu riangnya setelah keingingnannya terpenuhi, akhirnya mereka kembali ke tampat semula untuk melanjutkan makan malamnya.
Kakek pun merapihkan pisang yang berantakan dipilih oleh ibu tadi, setelah beres kakek kembali duduk untuk mengembalikan tenangannya. Kakek duduk sampil memegang uang Rp. 10.000 hasil jualannya hari ini, walaupun uang yang ia dapatkan tidak sesuai namun kakek tetap bersyukur. Tiba-tiba Kakek dikejutkan dengan suara yang datang tepat dari depannya.
Suara tersebut menanyakan berapa harga pisang yang ia jajakan, Kakekpun menatap siapa orang yang menawar pisang jualannya. Nampaklah jelas seorang lelaki tambun brewok tepat berada dihadapannya, berpenampilan sederhana hanya memakai celana pendek dan sandal jepit.
Kakek menawarkan harga 1 sisir pisang seperti harga ke ibu pertama tadi. Orang yang ada di depannya hanya manggut-manggut menghitung jumlah sisir pisang yang Kakek jajakan. Sambil mengeluarkan uang Rp. 100.000 orang tadi meminta kakek merapihkan pisannya untuk dimasukan ke dalam mobilnya.
Kakek bingung tidak ada uang kembali, karena uang yang Ia pegang hanya Rp. 10.000, pria gendut yang ada di depannya hanya tersenyum sambil berkata bahwa ia akan membeli semua pisang yang dijual oleh Kakek yang tersis 9 sisir. Kakek pun sumringah pisang dagangannya laku terjual.
Pria gendut pembeli pisang akhirnya permisi kepada Kakek untuk berangkat, namun Kakek segera beranjak setengah berlari mengejar mobil pembeli tadi. Mobil tadipun akhirnya berhenti dan merasa heran dengan tingkah laku si Kakek. Kakek dengan napas yang ngos-ngosan menyodorkan uang Rp. 10.000 kepada pembelinya.
Si Pembeli tidak mau menerima uang tadi dengan alasan bahwa ia telah merelakannya, namun kakek memaksa untuk menerimanya. Akhirnya si pembeli menerima uang pengembalian dari Kakek, sambil bertanya kenapa Kakek tidak mau menerima uang pemberiannya? Kakek menjelaskan bahwa ia hanya menerima uang dari hasil penjualannya. Kakek tidak mau dikasihani dan membebani orang lain. Uang yang Kakek ingin bawa ke rumah hanya hasil dari penjualan pisangnya.
Pembeli tadi menanyakan mengapa bisa seperti itu? Kakek menjelaskan dari kecil sampai saat ini orang tuanya mengajarkan bahwa tidak baik untuk meminta-minta dan mendapatkan belas kasih dari orang lain.
Tidak baik menjadi beban orang lain, tidak baik membawa uang ke rumah dari hasil yang tidak baik (bukan uang haram). Kakek meyakini bahwa setiap rizki yang didapatkannya akan mempengaruhi terhadap kehidupan, kesehatan, dan tingkat keberkahannya.
===============================
Budi pekerti yang baik tidak bisa dilihat dari penampilan, melainkan perilaku dan sikap terpuji. Budi pekerti yang baik tidak mengenal usia, jenis kelamin, latar belakang pendidikan dan jabatan seseorang. Budi pekerti yang baik akan tercipta dari nilai-nilai yang diyakini oleh orang yang bersangkutan sehingga tidak berbenturan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat.
Posting Komentar untuk "Kakek Penjual Pisang, Berkah Dari Sebuah Kejujuran"
Posting Komentar