Membahas Serunya Politik Ala Kedai Kopi

Nana sedang asyik menyeruput segelas kopi hitam yang disajikan di kedai kopi depan pangkalan ikan di desanya. 

Sambil membuka selembar koran lokal yang kurang terkenal nama penerbitnya. Nana terlihat begitu asyik membaca salah satu kampanye Calon Presiden yang nota bene merupakan calon dari kubu petahana.

Ilustrasi
Jelas terlihat sekali judulnya “Pilihlah Pemimpin Yang Bersih...”, sambil manggut-manggut, Nana begitu asyik dengan kopi dan sebatang rokok kretek yang diproduksi oleh perusahaan lokal yang sudah berusia ratusan tahun lamanya.

Kakinya diangkat satu, sambil membolak-balikan koran yang sudah selesai ia baca dari awal sampai akhir. Tangannya meraba gelas kopi hitam yang sudah habis setengah. Sruuut...kopi masuk ke kerongkongannya, ditambah hisapan rokok yang cukup dalam.

Matanya menatap jauh ke lautan yang menghampar tepat didepannya. Seakan-akan meminta jawaban apa yang ia pikirkan.

Namun situasi tersebut tidak begitu lama, karena dari belakang datang Ucok teman akrabnya sesama nelayan.

Ucok: “Kang Nana melamun saja, apa yang kau pikirkan? Kok kacau kali pun wajah kau itu!”

Nana: “Cuaca lagi gak bagus Cok, bulan Maret ini banyak sekali badai rob yang bikin badai. Kalau saya paksakan berlayar agak khawatir juga sama keselamatan. Apalagi banyak informasi yang diberitakan di TV nelayan dan penumpang menjadi korban”.

Ucok: “Ia Bang, aku juga sama...sudah dua hari ini pun gak melaut. Ya beigini lah Bang, kita nikmati saja sisa uang jualan kita kemarin. Besok-besok kita segera melaut!”.
Nana: “Ia Cok, ya kita syukuri aja...mau gimana lagi kita sebagai nelayan gak bisa berubah jadi pejabat. Mereka kan kenak ya, bisa duduk nyaman, makan enak, mendapatkan penghargaan dari masyarakat...kena tangkap KPK pun masih senyum-senyum!”

Ucok: “Ia bang enak kali pun pejabat...kalo ada aku pun mau lah jadi pejabat. Oya ngomong-ngomong kau ini pilih 01 atau 02?”.

Nana: “Aaah saya mah ikut ijtima ulama aja, kata ulama kemarin yang paling cocok 02! Emang Ucok pilih yang mana?”

Ucok pun mulai memesan kopi sambil duduk di samping Nana. Sambil menyeruput kopi hitamnya persis seperti kebiasaan Nana sebelumnya. Maklum lah mereka kan sama-sama satu tempat dan profesi yang sama juga.

Kebiasaan seperti ini setiap hari ia lakukan, sehingga kebiasaan tersebut melekat sampai ke sumsum tulang belakang. Ucok pun mulai membuka koran yang sebelumnya di baca oleh Nana.

Ucok: “Nahhh....ini dia Presiden, eh Capres ku. 01 presiden idola ku, sudah terbukti kerjanya. Ingat bang Nana, pilihlah presiden yang berpengalaman. 01 memiliki pengalaman yang luar biasa, jalan tol dimana-mana, koruptor pada ditangkapin, ekonomi jadi gampang”.

Nana: “Mana lah enak Cok, dari dulu pun kita gini-gini juga...coba mana kita pernah pake jalan tol yang kamu banggakan itu. Jalan tol kita ini....lautan luas yang setiap malam kita lewati”.

Ucok: “Jangan kupur nikmat Bang, kalo abang pergi ke kota kan abang sekali-kali lewat jalan tol. Enak kan gak ada macet-macetnya lagi. Pembangunan di Jakarta pun makin kelihatan, kemarin event Asian Games sukses, cemana pula Abang ini bilang kita gak menikmatinya!”

Nana: “Ucok...ucok...ke kota kan sekali-kali, bahkan gak setaun sekali pun kita ke Jakarta. Sehari-hari kita sama kendaraan kita...ni perahu kita ini yang kita pake sehari-hari. Perahu ini gak pernah berubah jadi mobil terus jalan-jalan ke jalan tol!”

Ucok: “Ia...tapi gak mungkin lah kita serahkan kepada orang yang belum berpengalaman, bahkan ia kan didukung oleh ormas yang radikal, anti pancasila, gak punya istri, anaknya LGBT, bisa-bisa kita dijadiin Suriah sama dia. Lihat aja pendukungnya yang radikal...sampe-sampe bilang-bilang “Kafir”...masih banyak lagi. Pokoknya saya tetep 01!”

Nana: “Itu fitnah Ucok...pokoknya saya pilih 02!”

Mereka berdua beradu argumen, semua tidak ingin mengalah. Keduanya adu alasan dan mengapa dia mempertahankan keduanya. Sebelumnya mereka merupakan kawan akrab, setelah menentukan pilihan politiknya mereka pun bersitegang dengan pilihannya.

Mereka lupa apa yang menjadi hak dan tanggung jawabnya. Lupa siapa dirinya, lupa dia sudah sekian lama berteman, lupa bahwa mereka ketika selesai Pemilu akan menjadi seorang nelayan kembali, lupa akan hak-haknya masing-masing untuk menentukan pilihannya yang dijamin oleh undang-undang.

Saat mereka bertengkar di kedai kopi, tanpa sadar datanglah empok-empok jamu tradisional yang melintas di depan mereka yang sedang saling adu mulut. Empok tersebut dikenal dengan Empok “Rosita” panggilan akrabnya “Mpok Roro”.

Roro: “Piye toh mas...kalian berantem masalah apa? Daripada berantem mendingan minum jamu, selain menyehatkan juga mensejahterakan!”

Sejenak Nana dan Ucok terkaget-kaget ada orang yang menegurnya saat berantem. Adu mulut mereka pun akhirnya berhenti. Keduanya menengok arah suara yang menyapanya dari belakang.

Tampaklah seorang perempuan paruh baya berbadan subur, mengenakan topi leang-leang yang besar agar menutupi sinar matahari kena ke tubuhnya. Ucok pun akhirnya menjawab pertanyaan Mpok Roro.

Ucok: “Gimana lah Mpok, aku tu keukeuh dengan pilihan 01, bang Nana keukeuh dengan pilihan 02. Kan 02 itu gak bagus, ia kan pelanggar HAM...daan...”

Pembicaraan Ucok pun terhenti karena jempok besar Mpok Roro bersarang di pergelangan tangannya. Cubitan keras seperti dicubit kepiting bakau menghentikan semangat, idealisme, dan kampanye Ucok”.

Terlihat Ucok pun meringis kesakita sambil memandang Mpok Roro yang terlihat gemas. Mpok Roro pun dengan nada yang agak meninggi memprotes ucapan Ucok.

Roro: “Udah lah Ucok, ini yang bikin sebel...kalian (kaum laki-laki) bisanya berantam masalah politik sambil duduk-duduk manis. Nyuruh istri baik, dia lupa bahas pilitik tapi gak kerja. Hebatnya lagi berjuang abis-abisan sama piliah pilitiknya...seakan-akan kalo milih dia bisa langsung berubah jadi orang kaya!.

Roro: “Gak semudah itu mas, Mpok sudah 8x kali ikut Pemilu...masih gini-gini aja jualan jamu. Mungkin mereka orang terdekat pemerintah bisa menikmati kehebatan saat menjabat. Gak usah berantem lah, yang kita butuhkan itu cuma rizki kita mudah dan pemerintah ngasi fasilitas bagi masyarakat”.

Nana: “Abisnya kesel Mpok...kita itu gak boleh golput, kita punya pilihan, pilihan itu harus kita suarakan. Beda kan biasa, kenapa harus sama pilihannya. Aku tetap pilih 02, gak peduli apapun, sekalipun itu fitnah-fitnah seperti yang Bang Ucok bilang”.

Nana pun tidak dapat melanjutkan bicaranya, ujung botol jamu tradisional kena tepat di jari kakinya. Dengan sengaja Mpok Roro mengenakan ujung botol tersebut agar Nana gak melanjutkan argumennya. Mpok Roro pun sambil bertolak pinggang mengingatkan Nana atas pembicaraan sebelumnya.

Roro: “Sama juga...”tuman”, sama saja itu mah kayak Bang Ucok...Kang Nana! Milih itu gak harus dipaksakan, walo beda pendapat itu biasa. Kalian sibuk bahas Pilpres, sudah kerja belum untuk anak-istri kalian? Enak aja...istri dan anak gak kenyang dikasi makan janji-janji politik”.

Sejenak ketiganya terdian, Nana meraih gelas kopinya untuk menghabiskan sisa kopi yang masih tersisa. Ucok pun melanjutkan membaca koran yang sebelumnya dibaca bagian depannya yang ada iklan politiknya.

Tiba-tiba datang Ko Lim, seorang keturunan Tionghoa yang berjualan kelontongan di sekitar pasar ikan tersebut. Ko Lim pun terheran-heran ada percekcokan di kedai kopi di samping tokonya. Ko Lim pun menghampiri Mpok Roro untuk memesan jamu.

Ko Lim: “Mpok, saya pesan jamu biasa ya!”

Roro: “Ia Ko, bentar ya saya buatkan jamu nya!”

Roro pun menyodorkan segelas jamu tradisional yang biasa Ko Lim pesan. Ko Lim pun mulai menikmati jamu yang diberikan Mpok Roro. Sedangkan Nana dan Ucok masih terdiam melihat mereka berdua.

Ko Lim: “Haia...kayanya ya ada yang aneh ni Mpok?”

Roro: “Aneh gimana ya Ko?”

Ko Lim: “Jamunya biasanya enak...tapi sekarang, rasanya ada yang kurang dech!”

Roro: “Hmmm...ia ya Ko, memang ada yang saya kurangi Ko bahan-bahannya. Maklum lah ekonomi lagi sulit. Pengaruh mau Pilpres!....hehehe”.

Gak disangka-sangka dengan kompak, Nana dan Ucok bilang “Oooohhh Politik Toh!”. Sejenak keempatnya hening setelah mendengar ucapan dari mereka. Akhirnya Ko Lim pun berbicara.

Ko Lim: “Oooh kalian berantem itu bahas politik ya? Itu lah politik, dibahas ribut lebih rusak lagi kalo kita tinggalin. Mangkanya mending pilih aja yang paling nguntungin sama kalian masing-masing, gak usah dipaksakan!”.

Ko Lim: “Daripada berantem, mending kerja...tapi Nana jangan lupa ya bayar utang kawat dan paku kemarin!”

Nana pun tersipu malu, rupanya diingatkan oleh Ko Lim mengenai utang-utangnya yang belum lunas. Seperti keingetan, Mpok Roro pun terperangah mendengar urusan utang-perutangan.

Roro: “Ia jadi keingetan, Bang Ucok pun sudah lama gak bayar utang sama saya. Ayo lah Bang Ucok bayar dulu utangnya, jangan pura-pura sibuk bahas pilihan politiknya!”

Sejenak keempatnya bertatap-tatapan menyadari apa yang mereka layak berjuangkan. Sejenak berselang mereka pun bubar...mencari rejekinya masing-masing.

Posting Komentar untuk "Membahas Serunya Politik Ala Kedai Kopi"