Reyhan, Sebutir Peluru Menembus Pelipis Kiri Mukaku

Selama 40 hari, aku sudah mulai meninggalkan jasadmu yang begitu segar, suci tanpa dosa. Firasat sudah aku tunjukan kepada mereka yang berada di sekelilingmu. Kamu terlihat berbeda dari biasanya, namun hanya dapat dilihat oleh mereka yang betul-betul peka atas kehadiran dirimu.

Tidak ada yang berubah signifikan dari gerak-gerikmu, hanya terdengar beberapa pelesetan kata yang mungkin menunjukan tanda-tanda perpisahan dari anak belia sepertimu. Ucapan maaf, keinginan untuk selalu dekat dengan ibu-bapaknya mulai engkau tunjukan.

Kedua orang tuamu mungkin menganggap hal yang biasa, perilaku tersebut biasa di lakukan oleh anak remaja yang suka berbuat "alay". Kadang kamu pun mengeluarkan ponsel untuk bisa ber-selfie bersama dengan teman-teman terdekatmu.

Almarhum Reyhan
Teman-temanmu pun belum tentu dapat menangkap sinyal bahwa engkau sudah mendekati akhir hayat yang telah ditentukan oleh Allah SWT. Perlilaku lainnya adalah munculnya keinginanmu untuk selalu mendekatkan diri kepada Sang Khalik (kuatnya ibadah).

Suara merdumu sering terdengar selepas melaksanakan shalat fardu. Ayat demi ayat dilantunkan penuh dengan perasaan dan makna yang mendalam. Orang-orang yang mendengarkan lantunan suaramu yang begitu halus menyayat hati dari mereka yang khusuk mendengar dan menghayatinya.

Orang tuamu, gurumu, dan teman-temanmu merasa bangga akan karunia yang telah Allah SWT berikan kepada dirimu atas kepandaian melantunkan Ayat-ayat Suci Al-Quran.

Hari demi hari berlalu begitu cepat, rutinitas telah engkau tuntaskan seperti biasa. Semakin hari semakin meningkat kualitas dari rutinitasmu tersebut, khususnya hal-hal yang berbau amal ibadah. Hal ini pun diperkuat dengan datangnya Bulan Suci Ramadhan 1440 H.

Tanpa tahu dengan pasti apa yang terjadi di negeri ini, engkau hanyalah anak remaja yang menjalankan rutinitas seperti anak remaja lainnya. Situasi di Jakarta serasa seperti biasa, isu politik dan berita korupsi hanya jadi pelengkap hari-hari saat kembali ke rumah yang terlintas TV saat menyala.

Tidak ada kepentingan apapun yang berada alam benakmu. Hal yang pasti di dalam relung hati mu yang paling dalam adalah kebahagiaan orang tua adalah yang paling utama. Engkau sering membayangkan masa depan yang indah bersama mereka.

Mereka bangga atas prestasi yang telah berhasil engkau raih. Engkau membayangkan telah berhasil mengangkat harkat dan martabat mereka berdua. Harta dunia hanya bagian untuk melangsungkan hidup dengan layak, modal akhirat adalah segala-galanya.

Isu kecurangan Pemilu (Pemilihan Umum) yang telah berlalu menorehkan sejarah terjadinya kerusuhan yang terjadi di sekitar kantor Bawaslu (Badan Pengawas Pemilihan Umum) pada tanggal 21-22 Mei 2019.

Kejadian dimulai oleh aksi damai yang dilakukan oleh masyarakat selepas shalat subuh. Mereka menyuarakan hak-haknya yang tidak sesuai dengan pengumuman Bawaslu, bahwa Pemilu Presiden tahun ini telah dimenangkan oleh pasangan nomor urut 01 (Jokowi - Ma'ruf).

Masyarakat mempertanyakan suara mereka yang telah dihitung berdasarkan TPS masing-masing menganggap bahwa pasangan Calon Presiden 02 (Prabowo - Sandi) telah memenangkan Pemilu Presiden tahun ini.

Baik pemerintah maupun masyarakat yang memperjuangkan hak-haknya bukanlah sesuatu yang sangat menarik dan menggerakan hati untuk memilih dengan tegas. Itu hanya sebatas informasi biasa, karena aku sendiri tiadak ada kepentingan apapun di dalamnya.

Informasi tersebut hanya sebatas pengetahuan saat teman-teman atau orang tua berdiskusi tentang masalah Pemilihan Presiden tahun 2019 ini. Agar tidak ketinggalan zaman, aku sendiri pun suka memberikan informasi ala kadarnya saat ditanya atau diminta pendapatnya.

Sempat ada aksi dorong-mendorong antara massa dengan pihak Kepolisian. Namun dari pagi sampai sore tidak ada kerusuhan yang berarti, apalagi peserta yang taat beribadah sangat tepat waktu untuk melaksanakan shalat dzuhur, ashar, dan magrib.

Sesaat menjelang buka puasa para pendemo dan pihak pemerintah pun sempat berhenti beraktivitas. Jakarta seakan-akan menjadi tempat pengajian, dimana para pendemo melantunkan dzikir begitu juga dari pihak kepolisian yang ikut serta membacakan dzikir.

Tidak dapat dipungkiri bahwa pemerintah mengerahkan berbagai aparatnya dengan ketat dan kuat, mulai dari kepolisian, TNI Angkatan Darat, Udara, dan Laut. Bahkan Marinir sendiri diturunkan untuk mengamankan Jakarta kala itu (21 Mei 2019).

Sedikit terbersit dalam benak ku, sekelas Marinir diterjunkan untuk menghalau massa apakah ini merupakan tanda-tanda kerusuhan yang sangat besar? Biasanya batalion ini jarang sekali terlibat dalam urusan yang bersentuhan langsung dengan masalah internal masyarakat. Namun hal sebaliknya mereka lah garda paling depan untuk mengamankan wilayah kesatuan Republik Indonesia.

Rutinitasku seperti biasa, selepas berbuka dan melaksanakan shalat magrib dilanjutkan dengan membaca ayat suci Al-Quran sambil menunggu shalat Isa dan shalat sunat terawih. Shalat isa dan terawih pun dilaksanakan dengan hidmat, berjalan baik seperti biasanya.

Situasi pendemo pun sudah mulai sepi, mereka mulai berkurang dari depan kantor Bawaslu. Dapat dipastikan sebagian dari mereka yang memiliki iman yang baik melaksanakan sholat Isa dan terawih berjamaah di mesjid-mesjid terdekat.

Selepas melaksanakan shalat Isa dan Terawih, aku pun melanjutkan duduk-duduk di warung depan gang rumahku. Ngobrol seperti biasa membahas hal-hal yang ringan-ringan seputar anak remaja sampai membahas yang diluar nalar yaitu mengenai Pemilihan Presiden itu sendiri sampai terjadinya demo massa yang dihalau oleh aparat seperti yang terlihat tadi siang.

Waktu pun begitu cepat, waktu sudah menunjukan waktu jam 24.00, waktu sudah mulai masuk tanggal 22 Mei 2019. Aku pun mulai bergegas meninggalkan tempat duduk untuk menyiapkan makan sahur seperti biasa.

Sambil berjalan bersama 4 temanku, Yudi, Anwar, Azis, dan Rofik. Terdengar bunyi ponsel berdering mengabarkan bahwa di Petamburan ada kerusuhan antara massa dengan pihak kepolisian. Rasa penasaranku pun mulai menggelora.

Yudi membuka pembicaraan mengajak aku dan teman-temanku untuk menyaksikan kerusuhan tersebut. Hal tersebut menjadi pengalaman yang baru, melihat banyaknya aparat pemerintah berhadapan dengan massa pendemo.

Kami pun mulai bergegas meninggalkan Masjid tempat kami sahur bersama (Masjid Al Itiqomah - Jakarta Pusat). Perjalanan ditempuh dengan mengendarai sepeda motor, kami pun berboncengan berangkat dengan tiga motor.

Sesampainya di lokasi kejadian, seperti yang diberitakan sebelumnya. Tampak terlihat begitu kacau, keributan di mana-mana. Petugas kepolisian dengan senjata lengkap menghadang massa yang mencoba merangsek masuk.

Letupan petasan dan lemparan batu berseliwran dari pihak massa yang membabi buta diarahkan kepada pihak kepolisian yang berjaga. Pihak kepolisian pun tidak tinggal diam, puluhan gas air mata diluncurkan ke arah massa yang terlihat begitu beringas.

Kami berlima hanya menyaksikan dari jarak 1 Km di pinggir jalan. Suara letusan kembang api, bom molotop, gas air mata, dan sesekali suara senjata api yang meletup. Entah siapa mereka yang melakukannya.

Kami hanya menyaksikan, kami bukanlah pelaku pelemparan benda apapun, kami tidak diajak oleh siapapun ini murni hanya ingin tahu ada kerusuhan massa dengan pihak aparat kepolisian. Namun ketakutan kami pun kadang-kadang memuncak saat letusan senjata dan desingan peluru mengenai bangunan yang ada di sekitar kami.

Kadang-kadang kami merunduk dan ikut berlari saat situasi terlihat membahayakan. Saat terdengar letusan senjata api, saya pun penasaran apa yang terjadi di jalan raya yang begitu ramai tersebut. sengaja saya keluar dari persembunyian di balik dinding ruko yang tertutup rapat.

Dari sebelah depan terlihat bara api yang melintah di depan mukaku, tanpa diketahui dari mana datangnya tiba-tiba kepala ini serasa dibenturkan dengan benda tajam "crakkkk", seketika badanku terjatuk ke lantai, tubuhku ku lunglai membentur lantai tepat di samping Yudi dan kawan-kawan. Mengalir darah dari pelipis kiri atas tepat di atas mata.

Aku segera menjauh dari badanku, melihat dari atas awan berjarak 100 m. Terlihat jelas tangan dan kakiku bergetar kencang yang semakin lama semakin lemah. Yudi dan teman-temanku berteriak "Reyhan Tertembak....tolong!!!".

Puluhan orang menghampiri tubuhku, satu diantaranya mengusap darah yang tidak berhenti keluar dari pelipisku. Dia berkata "Segera larikan ke rumah sakit terdekat, jangan sampai terlambat!!!". Terdengar mobil warga menderu-deru untuk segera menyelamatkan jasadku yang mulai terbujur kaku.

Mobil pun berhenti tepat di lokasi instalasi gawat darurat RS. Mintohardjo. Tubuhku diangkat menuju meja pemeriksaan. Namun Allah SWT telah menetapkan bahwa aku harus segera kembali ke sisi-Nya. Aku pun hanya bisa menatap tubuhku yang terbujur kaku. Aku akan hidup di kehidupan yang lebih baik di sisi-Nya.

----------------------

Cerita fiktif untuk mengenang tragedi penembakan Reyhan (16 tahun) di Petamburan - Jakarta Pusat. Siapa dan bagaimana hanya Allah SWT yang tahu, jika Ia berkehendak maka akan dibukakannya semuanya, keadilan akan menjadi pemenangnya. Jika terjadi hal sebaliknya, Ia sedang menguji ummat-Nya seberapa kuat kesabaran dan keimanannya.

Selamat jalan Reyhan, semoga engkau mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT. 

Posting Komentar untuk "Reyhan, Sebutir Peluru Menembus Pelipis Kiri Mukaku"